Selasa, 19 Februari 2013

Human Trafficking


KARYA ILMIAH

FENOMENA HUMAN TRAFFICKING TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK DI INDONESIA


MAKALAH INI SAYA BUAT
BERDASARKAN TUGAS YANG DI BERIKAN DOSEN KEPADA SAYA


OLEH :

RIZAL GELU
JURUSAN SYSTEM INFORMASI
FAKULTAS ILMU KOMPUTER
UNIVERSITAS GUNADARMA
DEPOK
2012












BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
                  Perdagangan Manusia atau Human Trafficking adalah segalah bentuk perekrutan, perpindahan, pengiriman orang yang bertujuan untuk di exploitasi.         
                  Exploitasinya bermacam-macam diantaranya pemaksaan untuk menjadi pekerja seks, kerja paksa, perbudakan, atau segala hal yang mirip dengan perbudakan atau penjualan organ tubuh.
                  Kasus perdagangan manusia atau Human Trafficking, adalah masalah yang sekarang telah menjadi kasus Internasional. Kasus yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat ini ada hampir di setiap negara di dunia. Pemecahan demi pemecahan berusaha dicari oleh dunia Internasional untuk meminimalisir kasus ini, namun belum ada satu titik terang yang menunjukan penurunan angka dari korban perdagangan manusia.
                  Perdagangan manusia memang telah menjadi fenomena umum yang terjadi dibanyak negara terutama di Indonesia. Hal inilah yang melatar belakangi saya mengambil judul “FENOMENA HUMAN TRAFFICKING TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK DI INDONESIA”.
                 
1.2         Rumusan Masalah
                  Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
A.         Beberapa bentuk perdagangan wanita dan anak di Indonesia.?
B.         Faktor penyebab terjadinya Human Trafficking.?
C.         Siapakah pelaku perdagangan  wanita dan anak di Indonesia.?
D          Cara-cara penanggulangan Human Trafficking yang tepat.?









BAB II
TEORI PERDANGAN MANUSIA

            Perdagangan (trafficking) manusia mempunyai arti yang berbeda bagi setiap orang. Perdagangan manusia meliputi sederetan masalah dan isu sensitif yang kompleks yang ditafsirkan berbeda oleh setiap orang, tergantung sudut pandang pribadi atau organisasinya. Kendati demikian, seperti yang dinyatakan oleh dua pakar perdagangan internasional, Wijers dan Lap-Chew, “isu definisi bukanlah suatu pertanyaan akademis. Langkah yang akan diajukan untuk mencegah dan memerangi “perdagangan” dapat berbeda-beda, tergantung dari bagaimana masalah itu didefinisikan. Isu pendefinisian ini amat penting di Indonesia karena banyak dari manifestasi perdagangan juga merupakan praktik yang diterima dalam masyarakat, sehingga mereka tidak dianggap eksploitatif, apalagi dipandang sebagai tindak perdagangan.
                  Di masa lalu, perdagangan dipandang sebagai pemindahan perempuan secara paksa ke luar negeri untuk tujuan prostitusi, dengan sejumlah konvensi terdahulu mengenai perdagangan hanya memfokuskan pada aspek ini. Namun kemudian perdagangan didefinisikan sebagai perpindahan manusia (khususnya perempuan dan anak), dengan atau tanpa persetujuan orang bersangkutan, di dalam suatu negara atau ke luar negeri, untuk semua bentuk perburuhan yang eksploitatif, tidak hanya prostitusi dan perbudakan yang berkedok pernikahan (servile marriage), sehingga memperluas definisi itu untuk mencakup lebih banyak isu dan jenis kekerasan.
                  Perluasan seperti ini terhadap definisi mempunyai arti bahwa kini lebih banyak bentuk eksploitasi yang dialami oleh perempuan dan anak Indonesia yang digolongkan sebagai perdagangan daripada sebelumnya. Dengan menyoroti perubahan-perubahan konseptual ini, kita akan mempunyai pengertian yang lebih baik tentang bagaimana hal ini mempengaruhi pemahaman kita tentang perdagangan di Indonesia. Kerangka konseptual baru untuk perdagangan ini melambangkan pergeseran dalam beberapa situasi seperti yang diuraikan di bawah ini. Poin-poin berikut ini didasari oleh Wijers dan Lap-Chew.

a.               Dari Perekrutan Menjadi Eksploitasi

                  Kerangka tersebut berkembang dari mengkonseptualisasi perdagangan sebagai sekadar perekrutan menjadi juga mencakup kondisi eksploitatif yang dihadapi seseorang sebagai akibat perekrutannya.

b.               Dari Pemaksaan menjadi “dengan atau tanpa Persetujuan”

                  Kerangka tersebut juga berubah dari mensyaratkan bahwa perdagangan harus melibatkan unsur penipuan, kekerasan atau pemaksaan, menjadi pengakuan bahwa seorang perempuan dapat menjadi korban perdagangan bahkan jika ia menyetujui perekrutan dan pengiriman dirinya ke tempat lain.

c.               Dari Prostitusi menjadi Perburuhan yang Informal dan Tidak Diatur oleh Hukum

                  Pada tahun 1994 PBB mengesahkan suatu resolusi mengenai “Perdagangan Perempuan dan Anak Perempuan” yang memperluas definisi perdagangan sehingga memasukkan eksploitasi yang tidak hanya untuk tujuan prostitusi saja tetapi juga untuk semua jenis kerja paksa.
                  Resolusi ini juga mengakui bahwa perempuan sering kali secara sadar mengijinkan dirinya dikirim ke luar negeri atau ke daerah lain, secara sah atau tidak sah, namun mereka tidak mengetahui eksploitasi yang sudah menunggu mereka. Resolusi ini menyatakan bahwa perdagangan didefinisikan sebagai “tujuan akhir dari memaksa perempuan dan anak perempuan masuk ke dalam situasi yang menekan dan eksploitatif dari segi ekonomi ataupun seksual”.
                  Meski perdagangan untuk tujuan eksploitasi seksual memang hanya dikenal di Indonesia, diduga jumlah perempuan yang diperdagangkan untuk bentuk-bentuk perburuhan lain jauh lebih banyak. Dari hampir setengah juta warga Indonesia yang bermigrasi secara resmi untuk bekerja setiap tahunnya, 70% adalah perempuan; dan masih banyak lagi yang ditengarai bermigrasi melalui jalur-jalur tak resmi, Sebagian besar perempuan bermigrasi untuk bekerja sebagai pramuwisma; sebagian lainnya untuk bekerja di rumah makan, pabrik atau perkebunan.
                  Dari hasil penelitian, juga data dari LSM tentang buruh migran, kami menemukan bahwa banyak dari antara perempuan ini yang menemukan diri mereka sendiri di dalam kondisi eksploitatif, penjeratan utang (debt bondage), penyitaan identifikasi, dan pembatasan gerak, yang merupakan unsure-unsur perdagangan.

d.               Dari Kekerasan terhadap Perempuan menjadi Pelanggaran Hak Asasi Manusia
                  Perubahan dalam kerangka konseptual menunjukkan pergeseran dari memandang perdagangan sebagai suatu isu yang sering dianggap sebagai isu domestik dan berada di luar yuridiksi negara, menjadi memandangnya sebagai suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang mendasar dan karena itu merupakan persoalan yang menjadi tanggung jawab negara.
                  Perspektif hak perempuan sebagai hak asasi manusia yang terus berkembang ini terlihat paling jelas dalam Konferensi Dunia PBB mengenai Hak Asasi Manusia pada tahun 1993 dan Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
e.               Dari Perdagangan Perempuan menjadi Migrasi Ilegal
                  Pergeseran paradigma ini terutama menunjukkan perubahan dalam persepsi negara-negara penerima terhadap perdagangan sebagai suatu isu migrasi ilegal dan penyelundupan manusia.
                  Perubahan ini mempunyai konsekuensi yang negatif. Dengan memusatkan perhatian hanya kepada status migrasi saja, kerangka yang berubah ini mengabaikan sebagian aspek penting dalam perdagangan perempuan.
                  Pertama, ada banyak kasus perdagangan di mana perempuan masuk ke 14 negara tujuan secara sah. Persepsi ini juga tidak memperhitungkan kemungkinan perdagangan domestik. Kedua, dan mungkin yang paling penting, kerangka ini menjauhkan perhatian dari korban.
                   Tindak kejahatan tersebut menjadi salah satu dari migrasi ilegal di mana korban adalah pelaku dan negara menjadi korban. Seperti yang akan ditunjukkan oleh bab-bab berikutnya, di Indonesia, seperti halnya di banyak negara lain, batas antara migrasi dan perdagangan mudah berubah, dengan perempuan kerap berpindah dari situasi migrasi sukarela untuk pekerjaan yang sah ke kondisi eksploitatif.
                  Mereka yang terlibat dalam perekrutan dan pengiriman para perempuan itu, mungkin terlibat mungkin tidak dalam tahap akhir eksploitasi. Menurut beberapa laporan, orang yang direkrut mungkin akan diserahkan kepada perekrut di negara lain yang kemudian dengan sewenang-wenang menyalurkan sebagian dari mereka ke rumah bordil dan sebagian lagi ke pekerjaan yang telah dijanjikan sebelumnya oleh perekrut pertama. Memahami hubungan antara migrasi dan perdagangan ini, serta rapuhnya batas antara migrasi yang sah dan tidak sah amat penting untuk memahami perdagangan di Indonesia.







BAB IV
PEMBAHASAN

A.              Bentuk-bentuk Perdagangan Wanita dan Anak di Indonesia
                  Seperti di banyak negara di Asia Tenggara, perdagangan perempuan dan anak terjadi dalam berbagai bentuk di Indonesia. Seperti halnya sejumlah definisi internasional perdagangan yang mengakui lebih banyak jenis kekerasan, demikian juga di Indonesia, tumbuh pengakuan bahwa bentuk-bentuk perburuhan eksploitatif, perburuhan anak, praktik perekrutan untuk industri seks, dan perbudakan berkedok pernikahan, yang sebelumnya dapat diterima, mungkin saja sebenarnya merupakan bentuk-bentuk perdagangan manusia, dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia individu yang terlibat. Pekerjaan-pekerjaan yang diketahui paling banyak dijadikan sebagai tujuan perdagangan perempuan dan anak di Indonesia adalah:
-                 Buruh Migran
-                 Pembantu Rumah Tangga
-                 Pekerja Seks
-                 Perbudakan berkedok pernikahan dalam bentuk pengantin pesanan
-                 Perkerja Anak

1.               Buruh Migran
                  Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak orang, termasuk anak di bawah umur, bermigrasi tanpa sepengetahuan Departemen Tenaga Kerja, melalui jalur yang informal atau melanggar hukum, sehingga meningkatkan jumlah buruh migran perempuan dan anak secara signifikan. Perempuan dan anak cenderung bermigrasi untuk bekerja dalam pekerjaan-pekerjaan berikut ini:
-                 Pembantu Rumah Tangga
-                 Pelayan Restoran
-                 Buruh Pabrik dan Perkebunan
-                 Industri Hiburan / Pekerja Seks

                  Buruh migran dieksploitasi sepanjang proses migrasi, mulai dari perekrutan hingga proses prakeberangkatan, selama bekerja, dan setelah kembali. Untuk mempercepat proses dan mengubah informasi penting terutama usia anak dokumen buruh sering kali dipalsukan bahkan ketika mereka bermigrasi melalui broker yang terdaftar secara sah. Hal ini membuat para migran menghadapi risiko dikenai tuduhan berbagai pelanggaran imigrasi di negara tujuan. Para migran juga berutang dalam jumlah besar kepada agen, yang biasanya berasal dari pungutan ilegal dan beban bunga yang tinggi. Gaji mereka dipotong untuk melunasi utang-utang ini, dan dalam kasus-kasus ekstrem, buruh menemukan dirinya terjebak dalam penjeratan utang, suatu situasi dari mana dirinya tidak akan pernah dapat melarikan diri.
                  Kondisi kerja sering kali melanggar undang-undang (UU) perburuhan setempat, di mana para buruh migran mempunyai jam kerja yang panjang, tidak diberikan cuti, dan diberi tempat tinggal dan makan dalam kondisi yang bersanitasi buruk. Buruh yang mungkin ingin pulang kampung, baik untuk alasan pribadi, karena kondisi kerjanya, atau karena takut mengalami pelecehan dan kekerasan seksual, biasanya akan dipaksa untuk terus bekerja guna memberikan ganti kepada agen bagi biaya perekrutan dan transportasinya. Bukan suatu hal yang aneh bagi majikan atau agen untuk menahan paspor dan dokumen-dokumen lain untuk memastikan bahwa buruh tidak akan mencoba melarikan diri.
                  Banyak dari bentuk-bentuk eksploitasi ini mengakibatkan buruh migran yang direkrut atas kemauannya sendiri menjadi korban perdagangan. Namun banyak dari praktik-praktik ini yang sudah begitu lazim di Indonesia sehingga tidak lagi dianggap sebagai eksploitatif, apalagi sebagai perdagangan yang melanggar hukum. Dengan tidak mengakui bentuk-bentuk perdagangan ini, pemerintah membiarkan eksploitasi buruh migran perempuan dan anak Indonesia terus berlanjut. Perekrutan gadis di bawah umur dipandang tak terhindarkan di negara dengan jumlah pengangguran dan semipengangguran yang luar biasa besar ini.
2.               Pembantu Rumah Tangga
                  Permintaan terbesar bagi buruh migran perempuan Indonesia adalah untuk menjadi pembantu rumah tangga yang tidak memerlukan banyak keterampilan. Pembantu rumah tangga kerap menghadapi bahaya besar karena sifat pekerjaan mereka yang bertempat di rumah pribadi dan karena itu tertutup dari sorotan masyarakat umum atau akses untuk memperoleh bantuan. Sering terdengar laporan mengenai kekerasan seksual yang dilakukan oleh majikan. Ruang gerak pembantu biasanya dibatasi. Mereka dibatasi dalam hal ke mana mereka dapat pergi, dan biasanya dikurung di rumah ketika majikan mereka sedang pergi.
                  Pembantu rumah tangga di dalam negeri juga dapat mengalami kekerasan serupa, antara lain penyekapan ilegal, penjeratan utang dan gaji tidak dibayar, yang membuat perekrutan mereka untuk bekerja dalam kondisi yang begitu eksploitatif menjadi kasus perdagangan. Selain itu, beberapa studi melaporkan bahwa lebih dari 25% pembantu rumah tangga di Indonesia berusia di bawah 15 tahun (usia kerja minimum di Indonesia menurut hukum), sementara sejumlah studi lain menyatakan bahwa jumlah pembantu rumah tangga di bawah umur lebih dari 50%.
                  Dalam kasus-kasus semacam itu, melanggar onvensi PBB mengenai Hak-hak Anak, yang mencakup hak untuk memperoleh pendidikan (Pasal 28), hak untuk beristirahat dan menikmati hiburan (Pasal 31), dan hak untuk memperoleh perlindungan dari eksploitasi ekonomi, khususnya jika pekerjaan yang dilakukan mengganggu pendidikan atau perkembangan anak bersangkutan (Pasal 32) dan karena itu merupakan pekerjaan yang eksploitatif. Sehingga perekrutan dan pengiriman anak untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga penuh waktu yang tinggal di rumah majikan sama dengan perdagangan manusia.
3.               Pekerja Seks
                  Perekrutan untuk industri seks internasional tampaknya serupa dengan perekrutan untuk jenis-jenis buruh migran lainnya, dan bahkan sering kali berkedok perekrutan untuk dijadikan buruh migran. Bukti anekdotal (bukti yang berasal dari pengalaman pribadi atau observasi), juga studi mengenai buruh migran, menunjukkan bahwa banyak perempuan yang semula direkrut untuk dijadikan pembantu rumah tangga, pegawai restoran atau untuk pekerjaan dalam sektor hiburan lain kemudian dipaksa untuk bekerja dalam industri seks komersial.
                  Banyak dari perempuan-perempuan ini yang telah menyerahkan sejumlah uang kepada perekrut untuk mencarikan mereka pekerjaan di luar negeri, dan tidak menyadari sifat sebenarnya dari pekerjaan sampai mereka tiba di negara tujuan. Pelaku perdagangan memalsukan dokumen mereka dipalsukan, sehingga mereka tidak berani mengadu kepada pihak yang berwenang karena takut akan ditahan atau dideportasi. Mereka menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan kerap digunakan agar para perempuan dan gadis tidak berani melarikan diri. Korban juga dapat disekap secara paksa dan dijaga ketat, serta dibebani dengan utang yang sebenarnya tidak ada atau yang jumlahnya lebih besar dari sebenarnya, sehingga penghasilan mereka dari jasa yang diberikan secara terpaksa pun ditahan .
                  Sebuah manifestasi perdagangan yang belakangan ini muncul adalah perekrutan perempuan muda dari Bali dan Jawa untuk misi kebudayaan atau tari ke Jepang. Para penari diberitahu bahwa mereka akan membawakan tarian tradisional di sejumlah pusat hiburan di Jepang. Setibanya di sana, mereka dipekerjakan di karaoke dan klub yang menyajikan tarian telanjang. Mula-mula mungkin mereka akan bekerja sebagai pelayan atau teman minum bagi tamu namun pada akhirnya mereka akan disuruh memberikan layanan seks kepada tamu.
                  Di beberapa kabupaten di Indonesia, terutama di Jawa, berlaku subbudaya di mana keluarga yang mempunyai anak perempuan di bawah umur mengatur agar anak mereka dapat menetap di kota untuk memasuki industri seks agar ia memperoleh penghasilan lebih besar dari yang mungkin dapat ia raih. Ini sudah jelas merupakan kasus perdagangan.
                  Sementara di daerah lain, seperti Sulawesi Utara, sejumlah perempuan dan gadis muda secara sadar menandatangani kontrak untuk bekerja sebagai penari, penari telanjang atau bahkan pekerja seks, namun mereka ditipu mengenai kondisi kerja yang harus mereka hadapi, dibebani oleh utang yang sebenarnya tidak ada atau jumlahnya lebih besar dari yang sebenarnya, disekap secara paksa, atau tidak boleh menolak bekerja, sehingga nasib mereka berujung dalam kondisi eksploitatif yang merupakan perdagangan (kunjungan lapangan proyek).
                  Juga ada konsistensi yang cukup tinggi dari antara sejumlah laporan yang menyatakan bahwa 30% pekerja seks di Indonesia berusia di bawah 18 tahun. Anak umur di bawah 18 tahun yang direkrut dan dikirim ke dalam industri seks merupakan korban perdagangan, sehingga isu tentang persetujuan atau menjadi pekerja seks secara sukarela menjadi tidak relevan.
4. Pengantin Pesanan
                  Pernikahan paksa memiliki sejarah panjang di banyak daerah Indonesia. Ada banyak subbudaya Indonesia di mana pernikahan biasanya diatur oleh orang tua tanpa banyak pertimbangan terhadap pilihan anak mereka.
                  Meski kini pelaksanaan praktik ini tidak sesering dahulu, praktik ini masih tetap hidup dan melanggar hak seseorang untuk menikah dengan bebas dan atas persetujuan penuh dari dirinya sendiri (Pasal 16, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Pengantin pesanan merupakan manifestasi modern dari perjodohan dan dapat menjadi kasus perdagangan ketika seorang gadis menikah atas tekanan keluarganya (khususnya bila ia berumur di bawah 18 tahun), dan berakhir dalam kondisi perbudakan atau eksploitatif.
                  Fenomena pengantin pesanan di Indonesia tampaknya terutama terjadi dalam masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa di Provinsi Kalimantan Barat (meski dari Jawa Timur diberitakan telah terjadi beberapa kasus serupa), dengan para calon suami berasal dari Taiwan.
                  Meski sebagian perempuan muda yang diperistri melalui proses ini mempunyai pernikahan yang bahagia, ada sejumlah perempuan lain melaporkan bahwa mereka bekerja seperti budak di rumah suami dan orang tua suaminya, dengan jam kerja yang panjang dan tanpa gaji dan mereka tidak diperlakukan sebagai salah satu anggota keluarga.
                  Dalam beberapa contoh yang lebih mengenaskan, para perempuan tersebut benar-benar dipaksa oleh suami mereka untuk memasuki industri seks atau langsung dijual ke sebuah rumah bordil. Kendati tidak semua kasus pengantin pesanan berakhir menyedihkan atau melibatkan perdagangan, banyak kasus melibatkan perempuan di bawah umur, dan pemalsuan dokumen.
                  Kebanyakan pernikahan difasilitasi oleh calo setempat dari Singkawang, Kalimantan Barat, dengan upacara pernikahan dilakukan di Indonesia. Dalam beberapa kasus, setibanya di Taiwan, kewarganegaraan pengantin langusng diubah terkadang tanpa sepengetahuannya sehingga jika ia ingin kembali ke Indonesia karena terlibat dalam kesulitan di sana, ia akan dihadang cukup banyak kesulitan.
5. Bentuk-bentuk Lain Perburuhan Anak
                  Ada beberapa bentuk perburuhan anak tertentu di Indonesia yang dapat digolongkan sebagai tindak perdagangan. Yang amat menonjol adalah kasus-kasus mengenai anak lelaki yang bekerja di jermal di lepas pantai Sumatra Utara. Sejumlah anak laki-laki yang masih belia direkrut dari desa dengan janji akan mendapat gaji besar jika bersedia dikontrak untuk bekerja selama tiga bulan di jermal.
                  Namun nereka tidak diberi penjelasan mengenai kondisi kerja, dan mereka harus hidup di tempat yang jorok, serta mengalami kekerasan fisik dan seksual dari orang dewasa yang ada di jermal itu dan jam kerja yang panjang. Mereka tidak pergi bersekolah dan tidak dapat meninggalkan jermal setelah sampai di situ.
                  Pihak LSM juga melaporkan sejumlah kasus anak yang diperdagangkan untuk dipekerjakan secara paksa sebagai pengemis atau untuk menjual narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) (kunjungan lapangan proyek). Bentukbentuk lain perburuhan anak, seperti untuk dijadikan pembantu rumah tangga dan untuk tujuan eksploitasi seks komersial akan dibahas di bagian lain, namun dipandang perlu untuk disampaikan di sini sebagai bentuk perburuhan anak yang sama relevan dan buruknya untuk digolongkan ke dalam paradigma perdagangan.





B.              Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Human Trafficking

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Trafficking adalah :
-                 Kemiskinan
                  Kemiskinan telah memaksa banyak orang untuk mencari pekerjaan kemana saja,tanpa melihat resiko dari pekerjaan tersebut. Karena kemiskinan juga orang tua rela menjual anaknya untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga.
-                 Tingkat pendidikan yang rendah
                  Tingkat pendidikan yang rendah juga menjadi salah satu faktor yang membuat Human Trafficking di Indonesia terus berkembang dengan pesat.
                  Karena kekurang ilmu pengetahuan menyebabkan para pencari kerja khususnya Wanita mudah tertipu dengan bujukan dan rayuan yang datang menghampiri mereka, bukan hanya kekurangan ilmu pengetahuan akan tetapi tiada keahlian khusus dari calon korban.
-                 Peran perempuan dalam keluarga
                  Kurangnya kesadaran dari pihak keluarga masalah peran perempuan dalam lingkungan keluarga juga bisa menjadi faktor penyebab terjadinya Human Trafficking. Kebanyakan keluarga di Indonesia selalu menilai perempuan itu dengan sebelah mata, menganggap perempuan itu derajatnya rendah, sehingga para suami rela menukarkannya atau menjadikannya sebagai taruhan dalam meja Judi, dan sebagainya.
-                 Status dan kekuasaan
                  Biasanya faktor ini terjadi dalam lingkungan pemerintah yang kekuasaannya lebih tinggi daripada rakyat. Status dan kekuasaannya pemerintah dengan mudahnya mengeluarkan izin untuk membuka tempat prostitusi, sehingga mempermudah berkembangnya Human Trafficking.
-                 Peran anak dalam keluarga
                  Mungkin bagi orang tua yang berfikir anak hanyalah membawa musibah. Sehingga banyak orang tua yang rela menjual anaknya apalagi anak perempuan. Kita ketahui bersama biaya hidup anak perempuan itu sangatlah besar. Dan akhirnya orang tua tidak bisa menanggulangi biaya hidup anak perempuan, dan lebih memilih untuk menjualnya




C.              Siapakah pelaku perdagangan  wanita dan anak di Indonesia.?

                  Manakala perdagangan manusia dibicarakan, pelaku perdagangan kerap digambarkan sebagai bagian dari organisasi kejahatan lintas batas yang terorganisasi. Meski gambaran ini mungkin saja benar dalam sebagian kasus, banyak pelaku perdagangan yang juga jelas-jelas diketahui bukan bagian dari kelompok kejahatan terorganisasi; sebagian beroperasi secara independen, sementara sebagian lagi merupakan tokoh terhormat dalam komunitas mereka. Setiap sector di mana perdagangan terjadi juga memiliki kelompok aktornya sendiri di dalamnya. Sebagaimana tidak semua perempuan dan anak yang terlibat dalam sektor-sektor ini adalah korban perdagangan, demikian juga tidak semua aktor adalah pelaku perdagangan. Namun banyak dari mereka yang menjadi pelaku perdagangan dan sebagian mungkin terlibat langsung dalam perdagangan perempuan dan anak dan bahkan tidak menyadarinya. Di bawah ini adalah uraian singkat berbagai kategori oknum dan organisasi yang terlibat dalam perdagangan perempuan dan anak di Indonesia.

1.               Agen Perekrut Tenaga Kerja
                  Agen perekrut tenaga kerja atau perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) membayar agen/calo (perseorangan) untuk mencari 24 Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia buruh di desa-desa, mengelola penampungan, memperoleh identifikasi dan dokumen perjalanan, memberikan pelatihan dan pemeriksaan medis serta menempatkan buruh dalam pekerjaannya di negara tujuan.
                  Baik PJTKI yang terdaftar maupun tidak terdaftar melakukan praktik yang ilegal dan eksploitatif, seperti memfasilitasi pemalsuan paspor dan KTP serta secara ilegal menyekap buruh di penampungan.
                  Mereka menjadi pelaku perdagangan ketika mereka memaksa seorang perempuan untuk terus bekerja bahkan ketika ia hendak pulang ke tempat asalnya, ketika mereka menempatkan seorang buruh dalam pekerjaan yang berbeda dari yang sudah dijanjikan sebelumnya dan ketika mereka mengirim seorang perempuan, dengan atau tanpa sepengetahuan mereka, untuk secara paksa bekerja dalam industri seks.



2.               Agen
                  Agen/calo mungkin saja adalah orang asing yang datang ke suatu desa, atau tetangga, teman, atau bahkan kepala desa. Agen dapat bekerja secara bersamaan untuk PJTKI yang terdaftar dan tidak terdaftar, memperoleh bayaran untuk setiap buruh yang direkrutnya. Mereka sering terlibat dalam praktik ilegal seperti pemalsuan dokumen.
                  Seorang agen mungkin dengan sadar terlibat dalam perdagangan perempuan ketika ia membohongi orang yang direkrutnya mengenai kebenaran dari pekerjaan yang akan dilakukan atau gaji yang akan diterimanya. Sebagian agen secara sadar merekrut perempuan untuk industri seks. Di sisi lain, banyak yang mungkin membantu perdagangan perempuan untuk industri seks tanpa menyadarinya. Agen mungkin tidak mengetahui yang sebenarnya dari suatu pekerjaan ketika mereka melakukan perekrutan untuk pekerjaan itu.

3.               Pemerintah
                  Pejabat pemerintah juga memainkan peranan dalam eksploitasi dan perdagangan migran. Keterlibatan mereka antara lain adalah memalsukan dokumen, mengabaikan pelanggaran dalam perekrutan dan ketenagakerjaan, atau memfasilitasi penyeberangan perbatasan secara ilegal. Mereka mungkin menyadari atau tidak menyadari bahwa perempuan yang perekrutan dan pengirimannya mereka fasilitasi adalah korban perdagangan.

4.               Majikan
                  Majikan, apakah mereka terlibat atau tidak dalam perekrutan, terlibat dalam perdagangan jika mereka memaksa buruh yang direkrut untuk bekerja dalam kondisi eksploitatif. Seorang majikan terlibat dalam perdagangan jika ia tidak membayarkan gaji, secara ilegal menyekap buruh di tempat kerja, melakukan kekerasan seksual dan fisik terhadap buruh, memaksa buruh untuk terus bekerja di luar keinginan mereka, atau menahan mereka dalam penjeratan utang.

5.               Pemilik dan Pengelola Rumah Bordil
                  Sama dengan majikan di atas, pemilik dan pengelola rumah bordil terlibat dalam perdagangan bila mereka memaksa seorang perempuan untuk bekerja di luar kemauannya, menahannya dalam penjeratan utang, menyekapnya secara ilegal, membatasi kebebasannya bergerak, tidak membayar gajinya, atau merekrut dan mempekerjakan anak di bawah 18 tahun.
6.               Calon Pernikahan
                  Seorang calo pernikahan yang terlibat dalam sistem pengantin pesanan terlibat dalam perdagangan ketika ia mengatur pernikahan yang mengakibatkan pihak istri terjerumus dalam kondisi serupa perbudakan dan eksploitatif. Calo pernikahan mungkin menyadari atau tidak menyadari sifat eksploitatif pernikahan yang akan dilangsungkan.

7.               Orang Tua dan Sanak Saudara
                  Orang tua dan sanak saudara lain menjadi pelaku perdagangan ketika mereka secara sadar menjual anak atau saudara mereka kepada seorang majikan apakah ke dalam industri seks atau sektor lain. Orang tua juga memperdagangkan anak mereka ketika mereka menerima pembayaran di muka untuk penghasilan yang akan diterima anak mereka di masa depan, atau menawarkan layanan dari anak mereka guna melunasi utang yang telah mereka buat, sehingga memaksa anak mereka masuk ke dalam penjeratan utang.

8.               Suami
                  Suami yang menikahi dan kemudian mengirim istrinya ke sebuah tempat baru dengan tujuan untuk mengeksploitasinya demi keuntungan ekonomi, menempatkannya dalam status budak, atau memaksanya melakukan prostitusi, terlibat dalam perdagangan.




D.              Cara-cara penanggulangan Human Trafficking yang tepat.?

Untuk menanggulangi masalah perdagangan anak dan perempuan ini, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan:
1.         Memberi pengetahuan
Untuk dapat mencegah masalah ini, perlu diadakan penyuluhan dan sosialisasi masalah kepada masyarakat. Dengan sosialisasi secara terus-menerus, masyarakat akan mengetahui bahayanya masalah ini, dan bagaimana solusinya. 
Pendidikan tentu saja tidak hanya diberikan kepada masyarakat menengah atas. Yang paling penting adalah masyarakat kelas bawah. Mengapa? Karena perdagangan manusia banyak terjadi pada masyarakat dengan kelas pendidikan yang cukup rendah. Pendidikan harus diberikan dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti oleh semua lapisan masyarakat.

2. Memberitahu orang lain
Ketika kita telah mengetahui masalah ini dan bagaimana solusinya, tetapi tidak memberitahu orang lain, permasalahan ini tidak akan selesai. Sebagai orang yang telah mengetahuinya, maka menjadi kewajiban Anda untuk menyampaikan apa yang terjadi pada orang lain, khususnya yang Anda anggap berpotensi mengalami perdagangan manusia. Sebab, orang yang tidak mengetahui adanya permasalahan ini tidak menyadari bahwa hal ini mungkin telah terjadi pada orang-orang di sekitar kita.

3. Berperan aktif untuk mencegah
Setelah mengetahui dan mencoba memberitahu orang lain, Anda juga dapat berperan aktif untuk menanggulangi permasalahan ini. Berperan aktif tersebut dapat dilakukan dengan cara melaporkan kasus yang Anda ketahui kepada yang berwajib. Anda juga bisa mengarahkan anak, keponakan, atau anak muda lain yang gemar beraktivitas di situs jejaring sosial untuk lebih berhati-hati dalam berteman, misalnya. Yang Anda lakukan mungkin hanya sesuatu yang kecil, tetapi bila semua orang tergerak untuk turut melakukannya, bukan tak mungkin masalah yang berkepanjangan ini akan teratasi.





Kesimpulan

Pada tataran politis pemerintah telah menunjukkan keseriusan untuk menghapuskan perdagangan manusia termasuk perdagangan tenaga kerja, ini dibuktikan dengan telah diratifikasinya konvensi-konvensi internasional dan menuangkannya dalam peraturan nasional, namun pada tataran praktis instrument Hukum Ketenagakerjaan sejauh ini masih memberi celah bagi perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi pekerja maupun dalam lembah prostitusi.
Celah tersebut baik berasal dari peraturan perundang-undangan yang secara substansi masih belum jelas dan tegas, juga dari segi penegakannya masih parsial/sektoral sebaiknya dilakukan kerjasama terpadu antar instansi. Perdagangan Tenaga Kerja sebagai sebuah tindak kejahatan perlu penanganan yang komprehensif dan memerlukan penanganan yang lintas sektoral dan melibatkan semua instansi terkait, baik Departemen Tenaga Kerja, Kepolisian, Kejaksaan, Ke-Imigrasian, Perhubungan dan sebagainya. Pola pelayanan satu atap dan menyederhanakan administrasi bagi para calon tenaga kerja yang akan bekerja keluar negeri setidaknya akan mengurangi maraknya pencaloan tenaga kerja dan TKI Illegal.





Saran

Adapun saran yang bisa di utarakan dari pembahasan diatas adalah :
1. Sebaiknya pemerintah merefisi undang-undang yang dirasa kurang memberatkan tersangka Trafficking.
2. Penertiban terhadap callon tenaga kerja harus menjadi upata yang serius untuk mencegah para calon TKI yang illegal.
3. Ikut andilnya semua instansi mengenai pananganan Human Trafficking.

0 komentar :